Cerita sex di warung Umpan Komentar ceritaprivate Umpan Komentar ceritaprivate Feed Umpan Umpan « SebelumnyaBerikutnya » Tinggalkan Balasan Alamat surel Anda tidak akan
dipublikasikan. Ruas yang wajib
ditandai * Kirim Komentar Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik. View Full Site Blog pada WordPress.com. Share
this: Like
this: Be the first to
like this post. Februari 23, 2012 Tinggalkan sebuah balasan Cerita sex di warung Namaku Otong (bukan nama
sebenarnya), aku bekerja di
sebuah perusahaan cukup
terkenal di Jawa Barat, di
sebuah kota yang sejuk, dan
saya tinggal (kost) di daerah perkampungan yang dekat
dengan kantor. Di daerah
tersebut terkenal dengan gadis-
gadisnya yang cantik & manis.
Aku dan teman-teman kost
setiap pulang kantor selalu menyempatkan diri untuk
menggoda cewek-cewek yang
sering lewat di depan kost. Di
sebelah kostku ada sebuah
warung kecil tapi lengkap,
lengkap dalam artian untuk kebutuhan sehari-hari, dari mulai
sabun, sandal, gula, lombok, roti,
permen, dsb itu ada semua. Aku
sudah langganan dengan warung
sebelah. Kadang kalau sedang
tidak membawa uang atau saat belanja uangnya kurang aku
sudah tidak sungkan-sungkan
untuk hutang. Warung itu milik
Ibu Ita (tapi aku memanggilnya
Tante Ita), seorang janda cerai
beranak satu yang tahun ini baru masuk TK nol kecil. Warung
Tante Ita buka pagi-pagi sekitar
jam lima, terus tutupnya juga
sekitar jam sembilan malam.
Warung itu ditungguin oleh Tante
Ita sendiri dan keponakannya yang SMA, Krisna namanya. Seperti biasanya, sepulang
kantor aku mandi, pakai sarung
terus sudah stand by di depan
TV, sambil ngobrol bersama
teman-teman kost. Aku bawa
segelas kopi hangat, plus singkong goreng, tapi rasanya
ada yang kurang…, apa ya..?, Oh
ya rokok, tapi setelah aku lihat
jam dinding sudah menunjukkan
jam 9 kurang 10 menit (malam),
aku jadi ragu, apa warung Tante Ita masih buka ya…?, Ah…, aku
coba saja kali-kali saja masih
buka. Oh, ternyata warung
Tante Ita belum tutup, tapi kok
sepi…, “Mana yang jualan”,
batinku. “Tante…, Tante…, Dik Krisna…,
Dik Krisna”, lho kok kosong,
warung ditinggal sepi seperti ini,
kali saja lupa nutup warung.
Ah kucoba panggil sekali lagi,
“Permisi…, Tante Ita?”. “Oh ya…, tungguu”, Ada suara
dari dalam. Wah jadi deh beli
rokok akhirnya.
Yang keluar ternyata Tante Ita,
hanya menggunakan handuk
yang dililitkan di dada, jalan tergesa-gesa ke warung sambil
mengucek-ngucek rambutnya
yang kelihatannya baru selesai
mandi juga habis keramas.
“Oh…, maaf Tante, Saya mau
mengganggu nich…, Saya mo beli rokok gudang garam inter, lho
Dik Krisna mana?
“O…, Krisna sedang dibawa ama
kakeknya…, katanya kangen
ama cucu…, maaf ya Mas Otong
Tante pake’ pakaian kayak gini… baru habis mandi sich”.
“Tidak apa-apa kok Tante,
sekilas mataku melihat badan
yang lain yang tidak terbungkus
handuk…, putih mulus, seperti
masih gadis-gadis, baru kali ini aku lihat sebagian besar tubuh
Tante Ita, soalnya biasanya
Tante Ita selalu pakai baju
kebaya. Dan lagi aku baru sadar
dengan hanya handuk yang
dililitkan di atas dadanya berarti Tante Ita tidak memakai BH.
Pikiran kotorku mulai kumat. Malam gini kok belum tutup
Tante..?
“Iya Mas Otong, ini juga Tante
mau tutup, tapi mo pake’
pakaian dulu?
“Oh biar Saya bantu ya Tante, sementara Tante berpakaian”,
kataku. Masuklah aku ke dalam
warung, lalu menutup warung
dengan rangkaian papan-papan.
“Wah ngerepoti Mas Otong kata
Tante Ita…, sini biar Tante ikut bantu juga”. Warung sudah
tertutup, kini aku pulang lewat
belakang saja.
“Trimakasih lho Mas Otong…?”.
“Sama-sama…”kataku.
“Tante saya lewat belakang saja”. Saat aku dan Tante Ita
berpapasan di jalan antara rak-
rak dagangan, badanku
menubruk tante, tanpa diduga
handuk penutup yang ujung
handuk dilepit di dadanya terlepas, dan Tante Ita terlihat
hanya mengenakan celana dalam
merah muda saja. Tante Ita
menjerit sambil secara reflek
memelukku.
“Mas Otong…, tolong ambil handuk yang jatuh terus lilitkan
di badan Tante”, kata tante
dengan muka merah padam. Aku
jongkok mengambil handuk tante
yang jatuh, saat tanganku
mengambil handuk, kini di depanku persis ada
pemandangan yang sangat indah,
celana dalam merah muda,
dengan background hitam
rambut-rambut halus di sekitar
vaginanya yang tercium harum. Kemudian aku cepat-cepat
berdiri sambil membalut tubuh
tante dengan handuk yang jatuh
tadi. Tapi ketika aku mau
melilitkan handuk tanpa kusadari
burungku yang sudah bangun sejak tadi menyentuh tante.
“Mas Otong…, burungnya
bangun ya..?”.
“Iya Tante…, ah jadi malu
Saya…, habis Saya lihat Tante
seperti ini mana harum lagi, jadi nafsu Saya Tante…”.
“Ah tidak apa-apa kok Mas
Otong itu wajar…”.
“Eh ngomong-ngomong Mas
Otong kapan mo nikah…?”.
“Ah belum terpikir Tante…”. “Yah…, kalau mo’ nikah harus
siap lahir batin lho…, jangan
kaya’ mantan suami Tante…,
tidak bertanggung jawab kepada
keluarga…, nah akibatnya
sekarang Tante harus bersetatus janda. Gini tidak
enaknya jadi janda, malu…, tapi
ada yang lebih menyiksa Mas
Otong… kebutuhan batin…”.
“Oh ya Tante…, terus gimana
caranya Tante memenuhi kebutuhan itu…”, tanyaku usil.
“Yah…, Tante tahan-tahan
saja..”.
Kasihan…, batinku…, andaikan…,
andaikan…, aku diijinkan biar
memenuhi kebutuhan batin Tante Ita…, ough…, pikiranku tambah
usil. Waktu itu bentuk sarungku
sudah berubah, agak kembung,
rupanya tante juga
memperhatikan.
“Mas Otong burungnya masih
bangun ya…?”. Aku cuma megangguk saja, terus
sangat di luar dugaanku, tiba-
tiba Tante Ita meraba burungku.
“Wow besar juga burungmu, Mas
Otong…, burungnya sudah
pernah ketemu sarangnya belom…?”.
“Belum…!!”, jawabku bohong
sambil terus diraba turun naik,
aku mulai merasakan kenikmatan
yang sudah lama tidak pernah
kurasakan. “Mas…, boleh dong Tante
ngeliatin burungmu bentarr
saja…?”, belum sempat aku
menjawab, Tante Ita sudah
menarik sarungku, praktis
tinggal celana dalamku yang tertinggal plus kaos oblong.
“Oh…, sampe’ keluar gini
Mas…?”.
“Iya emang kalau burungku lagi
bangun panjangnya suka
melewati celana dalam, Aku sendiri tidak tahu persis berapa
panjang burungku…?”, kataku
sambil terus menikmati kocokan
tangan Tante Ita.
“Wah…, Tante yakin, yang nanti
jadi istri Mas Otong pasti bakal seneng dapet suami kaya Mas
Otong…”, kata tante sambil
terus mengocok burungku.
Oughh…, nikmat sekali dikocok
tante dengan tangannya yang
halus kecil putih itu. Aku tanpa sadar terus mendesah nikmat,
tanpa aku tahu, Tante Ita sudah
melepaskan lagi handuk yang
kulilitkan tadi, itu aku tahu
karena burungku ternyata
sudah digosok-gosokan diantara buah dadanya yang tidak terlalu
besar itu.
“Ough…, Tante…, nikmat
Tante…, ough…”, desahku sambil
bersandar memegangi dinding
rak dagangan, kali ini tante memasukkan burungku ke
bibirnya yang kecil, dengan
buasnya dia keluar-masukkan
burungku di mulutnya sambil
sekali-kali menyedot…, ough…,
seperti terbang rasanya. Kadang-kadang juga dia sedot
habis buah salak yang dua itu…,
ough…, sesshh. Aku kaget, tiba-tiba tante
menghentikan kegiatannya, dia
pegangi burungku sambil berjalan
ke meja dagangan yang agak ke
sudut, Tante Ita naik sambil
nungging di atas meja membelakangiku, sebongkah
pantat terpampang jelas di
depanku kini.
“Mas Otong…, berbuatlah
sesukamu…, cepet Mas…,
cepet…!”. Tanpa basa-basi lagi aku tarik
celana dalamnya selutut…,
woow…, pemandangan begini
indah, vagina dengan bulu halus
yang tidak terlalu banyak. Aku
jadi tidak percaya kalau Tante Ita sudah punya anak, aku
langsung saja mejilat vaginanya,
harum, dan ada lendir asin yang
begitu banyak keluar dari
vaginanya. Aku lahap rakus
vagina tante, aku mainkan lidahku di clitorisnya, sesekali aku
masukkan lidahku ke lubang
vaginanya.
“Ough Mas…, ough…”, desah
tante sambil memegangi susunya
sendiri. “Terus Mas…, Maas…”, aku
semakin keranjingan, terlebih lagi
waktu aku masukkan lidahku ke
dalam vaginanya, ada rasa
hangat dan denyut-denyut kecil
semakin membuatku gila. Kemudian Tante Ita membalikkan
badannya telentang di atas meja
dengan kedua paha ditekuk ke
atas.
“Ayo Mas Otong…, Tante sudah
tidak tahan…, mana burungmu Mas… burungmu sudah pengin ke
sarangnya…, woww…, Mas
Otong…, burung Mas Otong kalau
bangun dongak ke atas ya…?”.
Aku hampir tidak dengar
komentar Tante Ita soal burungku, aku melihat
pemandangan demikian
menantang, vagina dengan
sedikit rambut lembut, dibasahi
cairan harum asin demikian
terlihat mengkilat, aku langsung tancapkan burungku dibibir
vaginanya.
“Aughh…”, teriak tante.
“Kenapa Tante…?”, tanyaku
kaget.
“Udahlah Mas…, teruskan…, teruskan…”, aku masukkan
kepala burungku di vaginanya,
sempit sekali.
“Tante…, sempit sekali Tante.?”.
“Tidak apa-apa Mas…, terus
saja…, soalnya sudah lama sich Tante tidak ginian…, ntar juga
nikmat…”.
Yah…, aku paksakan sedikit demi
sedikit…, baru setengah dari
burungku amblas…, Tante Ita
sudah seperti cacing kepanasan gelepar ke sana ke mari.
“Augh…, Mas…, ouh…, Mas…,
nikmat Mas…, terus Mas…,
oughh..”.
Begitu juga aku…, walaupun
burungku masuk ke vaginanya cuma setengah, tapi sedotannya
oughh luar biasa…, nikmat sekali.
Semakin lama gerakanku semakin
cepat. Kali ini burungku sudah
amblas dimakan vagina Tante Ita.
Keringat mulai membasahi badanku dan badan Tante Ita.
Tiba-tiba tante terduduk sambil
memelukku, mencakarku.
“Oughh Mas…, ough…, luar
biasa…, oughh…, Mas Otong…”,
katanya sambil merem-melek. “Kayaknya ini yang namanya
orgasme…, ough…”, burungku
tetap di vagina Tante Ita.
“Mas Otong sudah mau keluar
ya..?”. Aku menggeleng.
Kemudian Tante Ita telentang kembali, aku seperti kesetanan
menggerakkan badaku maju
mundur, aku melirik susunya
yang bergelantungan karena
gerakanku, aku menunduk dan
kucium putingnya yang coklat kemerahan. Tante Ita semakin
mendesah, “Ough…, Mas…”,
tiba-tiba Tante Ita memelukku
sedikit agak mencakar
punggungku.
“Oughh Mas…, aku keluar lagi…”, kemudian dari
kewanitaannya aku rasakan
semakin licin dan semakin besar,
tapi denyutannya semakin
terasa, aku dibuat terbang
rasanya. Ach rasanya aku sudah mau keluar, sambil terus goyang
kutanya Tante Ita.
“Tante…, Aku keluarin dimana
Tante…?, di dalam boleh
nggak..?”.
“Terrsseerraah…”,desah Tante Ita. Ough…, aku percepat
gerakanku, burungku berdenyut
keras, ada sesuatu yang akan
dimuntahkan oleh burungku.
Akhirnya semua terasa enteng,
badanku serasa terbang, ada kenikmatan yang sangat luar
biasa. Akhirnya spermaku aku
muntahkan dalam vagina Tante
Ita, masih aku gerakkan badanku
rupanya kali ini Tante Ita
orgasme kembali, dia gigit dadaku.
“Mas Otong…, Mas Otong…,
hebat Kamu Mas”. Aku kembali kenakan celana
dalam serta sarungku. Tante Ita
masih tetap telanjang telentang
di atas meja.
“Mas Otong…, kalau mau beli
rokok lagi yah…, jam-jam begini saja ya…, nah kalau sudah tutup
digedor saja…, tidak apa-apa…,
malah kalau tidak digedor Tante
jadi marah…”, kata tante
menggodaku sambil memainkan
puting dan clitorisnya yang masih nampak bengkak.
“Tante ingin Mas Otong sering
bantuin Tante tutup warung”,
kata tante sambil tersenyum
genit. Lalu aku pulang…, baru
terasa lemas sakali badanku, tapi itu tidak berarti sama sekali
dibandingkan kenikmatan yang
baru kudapat. Keesokan harinya
ketika aku hendak berangkat ke
kantor, saat di depan warung
Tante Ita, aku di panggil tante. “Rokoknya sudah habis ya…,
ntar malem beli lagi ya…?”,
katanya penuh pengharapan,
padahal pembeli sedang banyak-
banyaknya, tapi mereka tidak
tahu apa maksud perkataan Tante Ita tadi, akupun pergi ke
kantor dengan sejuta ingatan
kejadian kemarin malam.